Advertisements
BAB II
PEMBAHASAN
Tasawuf Fajar Nugraha Wahyu |
1. Pengertian Tasawuf
Dari segi bahasa tasawuf berarti sikap mental yang selalu memelihara kesucian diri, beribadah, hidup sederhana, rela berkorbann untuk kebaikan dan selalu bersikap bijaksana. Sikap yang demikian itu pada hakikatnya adalah akhlak yang mulia
Adapun pengertian tasawuf dari segi istilah atau pendapat para ahli amat bergantung pada sudut pandang yang digunakan masing-masing.
Adapun pengertian tasawuf dari segi istilah atau pendapat para ahli amat bergantung pada sudut pandang yang digunakan masing-masing.
Selama ini ada tiga sudut pandang yang digunakan para ahli untuk mendefinisikan tasawuf, yaitu :
a. Sudut pandang manusia sebagai makhluk terbatas
Didefinisikan sebagai upaya mensucikan diri dengan cara menjauhkan pengaruh kehidupan dunia, dan hanya memusatkan perhatian kepada Alloh SWT.
b. Manusia sebagai makhluk yang harus berjuang
Diartikan sebagai upaya memperindah diri dengan akhlak yang bersumber dari ajaran agama dalam rangka mendekatkan diri kepada Alloh SWT
c. Dan manusia sebagai makhlauk yang ber-Tuhan
Diartikan sebagai kesadaran fitrah (ke-Tuhanan) yang dapat megarahkan jiwa agar tertuju kepada kegiatan-kegiatan yang dapat menghubungkan manusia dengan Tuhan
Jika tiga definisi tasawuf tersebut di atas satu dan lainnya dihubungkan, maka segera tampak bahwa, Tasawuf pada intinya adalah upaya melatih jiwa dengan berbagai kegiatan yang dapat membebaskan diri dari pengaruh kehidupan dunia, sehingga tercermin akhlak yang mulia dan dekat dengan Alloh SWT. Dengan kata lain tasawuf adalah bidang kegiatan yang berhubungan dengan mental rohaniah agar selalu dekat dengan Tuhan.
2. Pandangan Umat Islam Terhadap Tasawuf
Ada yang bependapat bahwa tasawuf berasal dari kata shaf pertama dalam shalat. Sebagaimana halnya orang yang shalat di shaf pertama akan mendapat kemuliaan dan pahala, maka demikian juga kaum sufi dimuliakan Allah dan diberi pahala. Dan ada yang berpendapat bahwa tasawuf berasal dari kata al-Shafa’ yang berarti suci. Seorang sufi adalah orang yang mensucikan dirinya melalui latihan - latihan yang lama.
Sophos kata Yunani yang berarti hikmah merupakan asal kata tasawuf. Di dalam transliterisasi huruf s yang terdapat di dalam kata sophos ke dalam Bahasa Arab menjadi (sin) dan bukan (shod), sebagaimana halnya kata falsafat dari kata philosophia. Dengan demikian kata sufi ditulis dengan (sufi) dan bukan (shufi). Selain itu ada yang menisbahkannya kepada kata shuf yang berarti wol kasar. Kain yang terbuat dari wol kasar merupakan symbol kesederhanaan dan kemiskinan. walaupun hidup penuh kesederhanaan dan miskin, mereka berhati suci, tekun beribadah.
Berikut beberapa definisi Tasawuf menurut para ahli / sufi :
1. Tasawuf menurut Muhammad bin Ali bin Husain bin Abi Thalib
Kebaikan budi pekerti. Maka apabila bertambah baik kelakuannya, maka bertambah pula tasawufnya
2. Tasawuf menurut Hasan Nuri
Tasawuf itu tidak terdiri atas praktik-praktik dan ilmu-ilmu tertentu melainkan ia (tasawuf) itu merupakan etika
3. Tasawuf menurut Ali Karmini
Tasawuf itu merupakan moral/etika yang baik.
4. Tasawuf menurut Al- Junaidi
Suatu sifat yang di dalamnya terletak dikehidupan manusia
Tasawuf juga berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Hadist. Dapat di lihat ayat-ayat dan hadist-hadist yang menggambarkan dekatnya manusia dengan tuhan, di antaranya adalah :
1. Terdapat dalam surat Al-Baqarah (2) kalimat pertama ayat 186, yang terjemahannya kurang lebih berbunyi sebagai berikut : “(jawablah Muhammad) bahwa aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang bermohon kepadaKu”…
2. Di dalam ayat 115 surat yang sama, Allah berfirman : “Dan kepunyaan Allah lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap, di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui.”
3. Dalam surat Qaf ayat 16, Allah menyatakan : “Dan sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang di bisikkan oleh hatinya, dan kami lebih dekat kepadanya dari urat lehernya.”
Lafal kata tasawuf merupakan mashdar (kata jadian ) bahasa arab dari fi’il (kata kerja) menjadi . kata merupakan (kata kerja tambahan dan huruf), yaitu ‘ta’ dan ‘tasydid’, yang sebenarnya berasal dari (kata kerja asli dari tiga huruf), yang berbunyi menjadi (mashdar); artinya ‘mempunyai bulu yang banyak’. Perubahan dari kata menjadi kata yang dalam kaidah bahasa arab, berarti (menjadi) berbulu yang banyak, dengan arti sebenarnya adalah menjadi sufi yang ciri khas pakaiannya selalu terbuat dari bulu domba (wol). 1
Para ahli berpendapat bahwa asal usul kata tasawuf dibagi menjadi :
Pertama : tasawuf berasul dari shuf, yang berarti “wol kasar” karena orang-orang sufi selalu memakai pakaian tersebut sebagai lambang kesederhanaan.
Kedua : tasawuf berasal dari akar kata shafa’, yang berarti bersih. Disebut sufi karena hatinya tulus dan bersih dihadapan tuhannya, tujuan sufi adalah membersihkan batin melalui latihan-latihan yang lama dan ketat.
Ketiga : tasawuf berasal dari istilah yang dikonotasikan dengan ahl- assuffah, yaitu orang-orang yang tinggal disuatu kamar disamping dimasjid Nabi di Madinah.
Keempat : tasawuf berasal dari kata shopos. Kata tersebut berasal dari yunani yang berarti hikmah.
Kelima : tasawuf berasal dari kata shaf. Makna shaf dinisbahkan kepada orang-orang yang ketika shalat selalu berada di shaf yang paling depan.
Keenam : kata tasawuf berkaitan dengan kata ash-shifah karena para sufi sangat mementingkan sifat-sifat terpuji dan berusaha keras meninggalkan sifat-sifat tercela.
Ketujuh : tasawuf berasal dari kata ‘shaufanah’ yaitu sebangsa buah-buahan kecil yang berbulu-bulu dan banyak tumbuh dipadang pasir di tanah arab, dimana pakaian kaum sufi itu berbulu-bulu seperti buah itu pula, dalam kesederhanaannya.2
Menurut Harun Nasution asal usul kata tasawuf dibagi menjadi 5 istilah :
Al Suffah (Ahl Al suffah)
Yaitu orang yang ikut berpindah dengan Nabi SAW dari Mekah keMadinah. Hal ini menggambarkan bahwa keadaan orang yang rela mencurahkan jiwa dan raganya, harta bendanya dan lain sebagainya hanya untuk Allah SWT.
Shaf
Yang berarti barisan. Menggambarkan seseorang yang selalu berada dibarisan depan dalam beribadah kepada Allah dan melakukan amal kebajikan.
Sufi
Yang berarti suci. Menggambarkan orang yang selalu memelihara dirinya dari berbuat dosa dan maksiat.
Sophos
Yang berarti hikmah (berasal dari bahasa Yunani). Menggambarkan keadaan jiwa yang senantiasa cenderung kepada kebenaran.
Suf
Yang berarti kain wol. Menggambarkan orang yang hidup sederhana dan tidak mementingkan dunia.3
3. Stasiun-stasiun dalam Tasawuf untuk Mengakrabkan Diri dengan Allah
Ada 4 tahap yang harus dilalui hamba yang menekuni tasawuf untuk mencapai suatu tujuan (As-Sa’adah) :
1) Syari’at
Syariat adalah hukum-hukum yang telah diturunkan oleh Allah SWT kepada Rasulullah SAW yang telah ditetapkan oleh ulama melalui sumber Nash Al Quran maupun As Sunah atau dengan cara Istimbat.
2) Tarekat
Tarekat adalah pengamalan syariat, melaksanakan beban ibadah dengan tekun dan menjauhkan diri dari sikap mempermudah ibadah, yang sebenarnya tidak boleh dipermudah (diremehkan). Tingkatan maqam tarekat menurut Abu Nashr As Sarraj adalah :
1. Tingkatan taubah
2. Tingkatan wara’
3. Tingkatan Az-Zuhd
4. Tingkatan Al-Faqru
5. Tingkatan Al-Shabru
6. Tingkatan At-Tawakkal
7. Tingkatan Ar-Ridha
3) Hakikat
Hakikat adalah suasana kejiwaan seorang salik (sufi) ketika ia mencapai suatu tujuan sehingga ia dapat menyaksikan tanda-tanda dengan mata hatinya.
Seorang sufi setelah menempuh tarekat dengan melakukan suluk yakin terhadap yang dialami, 3 macam tingkatan keyakinan tersebut adalah :
1. ‘ainul yaqin’ (keyakinan melalui pengamatan indera)
2. ‘ilmul yaqin’ (keyakinan melalui analisis pemikiran)
3. ‘Haqqul yaqin’ (keyakinan melalui hati nurani)
4) Ma’rifat
Ma’rifat adalah hadirnya kebenaran Allah pada seorang sufi dalam keadaan hatinya selalu berhubungan dengan Nur Ilahi. Ma’rifat membuat ketenangan dalam hati, sebagaimana ilmu pengetahuan membuat ketenangan dalam akal pikiran.
Tanda-tanda sufi yang mencapai Ma’rifat :
1. Selalu memancar cahaya ma’rifat dalam segala sikap dan perilakunya.
2. Tidak menjadikan keputudan pada suatu yang berdasarkan fatwa yang bersifat nyata.
3. Tidak menginginkan nikmat Allah yang bayak untuk dirinya.
4. Stasiun - Stasiun ( Tingkatan ) Dalam Tarekat
Maqâm merupakan tingkatan rohani yang dapat dilalui orang yang berjalan menuju Allah dan akan berhenti pada saat tertentu. Orang yang menempuh jalan kebenaran (salik) berjuang hingga Allah memudahkannya untuk menempuh jalan menuju tingkatan kedua. Hal ini misalnya dari tingkatan taubat menuju tingkatan wara`, dari tingkatan wara` menuju tingkatan zuhud. Demikian jalanya hingga mencapai tingkatanmahabbah dan ridha.
Kaum sufi berbeda di dalam merinci maqâm yang harus dilalui oleh seorang salikuntuk menuju tujuannya. Imam Abu Nashr al-Sarraj al-Tusi membicarakan maqâm pada: taubat, al-wara`, zuhud, al-faqr, al-shabr, al-ridha, tawakal dan lain-lain. Menurut Abu Bakr al-Kalabi dalam bukunya al-ta’aruf limazhab ahl tasawuf, yaitu: taubat, zuhud, sabar, fakir, rendah hati, takwa,tawakal, kerelaan, cinta, ma’rifah,. Abu Hasan al-Qusyairi membaginya kepada:
taubat, wara`, zuhud, tawakal, sabar dan kerelaan. Untuk lebih jelasnya akan dijelaskan maksud dari beberapa maqâm yang harus dilalui oleh seorang sufi.
a. Maqâm pertama, taubat,
Taubat merupakan batu pertama jalan menuju Allah dan merupakan penyerahan diri kepada-Nya. Taubat adalah mensucikan manusia dari maksiat dan menghapus kesalahan (dosa-dosa) sebelumnya. Taubat orang sufi adalah taubat dari lalai beribadah. Mereka menganggap dosa kecil seperti dosa besar. Taubat semacam ini mempunyai syarat sehingga dapat menyiapkan manusia menempuh tujuannya dengan satu kesiapan yang sempurna. Syarat-syarat tersebut meliputi, pertama agar manusia meninggalkan maksiat, kedua agar manusia menyesali perbuatannya dan ketiga agar dirinya bertekad untuk tidak mengulangi kesalahan untuk selama-lamanya. Jika salah satu syarat tidak terpenuhi tidak sah taubatnya. Apabila perbuatannya ada kaitannya dengan manusia, syaratnya ada empat, yaitu tiga syarat yang di atas dan yang keempat adalah membersihkan diri dari hak orang lain.
b. Maqâm kedua adalah wara`.
Wara` adalah meninggalkan segala sesuatu yang mengandung syubhat(kesamaran) di dalamnya. Menurut Abdul Halim wara` adalah kehatian-hatian dalam perkataan, hati nurani dan perbuatan. Dalam perkataan adalah menahan dari ucapan sia-sia yang tidak bermanfaat dan membuang waktu, berbuat wara` dalam perkataan bukanlah suatu yang sangat mudah. Wara` dalam hati sanubari adalah mencegah manusia agar tidak lengah dalam hal-hal remeh. Wara` dalam perbuatan meliputi kewaspadaan dalam hal-hal yang berkaitan dengan makanan dan pakaian, semuanya harus berasal dari hasil yang halal.
c.Maqâm ketiga adalah zuhud.
Secara umum zuhud diartikan sebagai suatu sikap melepaskan diri dari rasa ketergantungan terhadap kehidupan duniawi dengan mengutamakan kehidupan akhirat.Zuhud berarti mengasingkan diri dari kehidupan duniawi untuk tekun beribadah dan menjalankan latihan rohani, memerangi keinginan hawa nafsu di dalam pengasingannya dan dalam pengembaraan. Walaupun terdapat keanekaragaman penafsiran zuhud, namun tetap sama dalam tujuan, yaitu agar manusia tidak menjadikan kehidupan dunia sebagi tujuan akhir. Dunia harus ditempatkan sebagai sarana dan dimanfaatkan secara terbatas
dan terkendali, jangan sampai kenikmatan duniawi menyebabkan susutnya waktu dan perhatian kepada tujuan sebenarnya, yaitu kebahagiaan yang abadi di “hadirat” ilahi. Dengan demikian zuhud merupakan sikap hidup dengan mempergunakan dunia seperlunya. Dunia hanya dijadikan sebagai jembatan untuk mencapai tujuan akhir, yaitu kebahagiaan yang abadi di “hadirat’ ilahi.
d. Maqâm keempat adalah faqr.
Faqr tidak diartikan dengan hidup dalam kemiskinan tanpa ada usaha untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Akan tetapi faqr dalam konteks sufi adalah hidup bagaikan orang fakir. Faqr tidak membutuhkan lebih banyak dari apa yang yang telah dimiliki, merasa puas dan bahagia dengan apa yang sudah dimiliki, sehingga tidak meminta sesuatu yang lain secara berlebihan. Sikap mental faqr ini merupakan benteng pertahanan yang
kuat dalam menghadapi pengaruh kehidupan materi. Dengan tertanamnya sikap rohaniyah faqr ini, maka dalam menerima atau memanfaatkan segala sesuatu bersikapwara`.
e. Maqâm kelima adalah sabar.
Sabar salah satu sikap mental yang fundamental bagi sufi dalam usahanya mencapai sasaran. Sabar diartikan sebagai suatu keadaan jiwa yang kokoh, stabil dan konsekwen dalam pendirian. Jiwanya tidak tergoyahkan, pendiriannya tidak labil walau bagaimanapun beratnya tantangan yang dihadapi, pantang mundur dan tak kenal menyerah, karena seorang sufi beranggapan bahwa segala sesuatu yang terjadi adalah iradah Allah yang mengandung ujian
f. Maqâm keenam adalah tawakal.
Tawakal bukan berarti menyerahkan seluruh urusan kepada Allah tanpa dibarengi perencaan yang matang dan tanpa usaha. Akan tetapi tawakal secara umum berarti pasrah secara bulat kepada Allah setelah melaksanakan sesuatu sesuai rencana dan usaha. Tawakal tidak bisa lepas dari rencana dan usaha. Apabila rencana sudah matang dan usaha dijalankan dengan sungguh-sungguh sesuai dengan rencana, hasilnya diserahkan kepada Allah.
g. Maqâm ketujuh adalah mahabbah.
Harun Nasution mengatakan bahwa pengertian yang diberikan kepada mahabbahantara lain; pertama memeluk kepatuhan kepada Tuhan dan membenci sikap melawan kepada-Nya, kedua menyerahkan seluruh diri kepada yang dikasihi, ketiga mengosongkan hati dari segala sesuatu kecuali dari diri yang dikasihi. Maqâm mahabbahdialami oleh Rabi’ah al-Adawiyah. Rasa cinta kepada Allah begitu bergelora, siang malam
bermunajat kepada Allah. Cinta memenuhi kalbunya sehingga tidak ada ruang walaupun kecil untuk rasa benci.
h. Maqâm kedelapan adalah ridha.
Sikap mental ridha merupakan kelanjutan dari rasa cinta atau perpaduan darimahabbah dan sabar. Term ini mengandung arti menerima dengan lapang dada dan hati terbuka apa saja yang menimpa dirinya dan tidak berburuk sangka kepada Allah.
Dengan timbulnya rasa cinta yang diperkuat dengan ketabahan, maka terbina pula kelapangan hati dan kesediaan yang tulus untuk berkorban berbuat apa saja yang diperintahkan sang kekasih. Rela menuruti apa yang dikendaki Allah tanpa ada rasa keterpaksaan. Ia merasa puas terhadap pemberian dari Allah walaupun sedikit bila dibandingkan dengan yang diterima orang lain.
5. Tujuan tasawuf
Pada dasarnya tujuan Tasawuf adalah menyucikan jiwa, hati dan menggunakan perasaan, pikiran dan semua fakultas yang dimiliki sang salik untuk tetap berada pada jalan Sang Kekasih, Tuhan Semesta Alam, untuk hidup berlandaskan rohani.
Allah menyuruh manusia mengikuti sunah nabi Muhammad SAW seperti diungkapkan oleh Siti Aisyah, akhlak nabi Muhammad adalah, (seluruh isi Al-Qur’an). Sikap terhadap sesama manusia dalam kehidupan sosial menurut nilai dan norma islam adalah, misalnya :
· Sikap mau dan mampu menunaikan kewajiban dan menerima hak
· Mau dan mampu menunaikan kewajiban dan menerima hak
· Mau dan mampu mengendalikan diri
· Selalu berusaha menegakan keadilan dan kebenaran baik bagi diri sendiri maupun bagi kepentingan masyarakat
6. Tokoh-tokoh Tasawuf dan Pemikirannya
Sesugguhnya banyak sekali para Ulama’ yang mengikuti jejak Rosulullah SAW. untuk hidup seadanya dan tidak tamak, tapi kami disini akan membahas siapa saja yang terkenal sebagai pakar ilmu tasawuf :
1. Tokoh-tokoh Tasawuf Moderat dan Ajarannya
Tasawuf Sunni (moderat) yaitu tasawuf yang benar-benar mengikuti Al-qur’an dan Sunnah, terikat, bersumber, tidak keluar dari batasan-batasan keduanya, mengontrol prilaku, lintasan hati serta pengetahuan dengan neraca keduanya. Sebagaimana ungkapan Abu Qosim Junaidi al-Bagdadi: “Mazhab kami ini (Tasawuf) terikat dengan dasar-dasar Al-qur’an dan Sunnah”, perkataannya lagi: “Barang siapa yang tidak hafal (memahami) Al-qur’an dan tidak menulis (memahami) Hadits maka orang itu tidak bisa dijadikan qudwah dalam perkara (tarbiyah tasawuf) ini, karena ilmu kita ini terikat dengan Al-Qur’an dan Sunnah.”. Tasawuf ini diperankan oleh kaum sufi yang mu’tadil (moderat) dalam pendapat-pendatnya, mereka mengikat antara tasawuf mereka dan Al-qur’an serta Sunnah dengan bentuk yang jelas. Boleh dinilai bahwa mereka adalah orang-orang yang senantiasa menimbang tasawuf mereka dengan neraca Syari’ah.
Tasawuf ini berawal dari zuhud, kemudian tasawuf dan berakhir pada akhlak. Mereka adalah sebagian sufi abad kedua, atau pertengahan abad kedua, dan setelahnya sampai abad keempat hijriyah. Dan personal seperti Hasan Al-Bashri, Imam Abu Hanifa, al-Junaidi al-Bagdadi, al-Qusyairi, as-Sarri as-Saqeti, al-Harowi, adalah merupakan tokoh-tokoh sufi utama abad ini yang berjalan sesuai dengan tasawuf sunni. Kemudian pada pertengahan abad kelima hijriyah imam Ghozali membentuknya ke dalam format atau konsep yang sempurna, kemudian diikuti oleh pembesar syekh Toriqoh. Akhirnya menjadi salah satu metode tarbiyah ruhiyah Ahli Sunnah wal jamaah. Dan tasawuf tersebut menjadi sebuah ilmu yang menimpali kaidah-kaidah praktis.
Tasawuf ini juga dinamakan tasawuf nazhori (teori), demikian, karena tasawuf Islam terbagi kepada nazhari dan amali (praktek). Dan hal ini tidak berarti bahwa tasawuf nazhori ini kosong dari sisi praktis. Istilah teori ini hanya melambangkan bahwa tasawuf belum menjadi bentuk thoreqoh (tarbiyah kolekltif) secara terorganisir seperti toreqoh yang terjadi sekarang ini.
a. Junaid Al-Baghdadi
Nama lengkapnya adalah Abu al-Qasim al-Junaid bin Muhammad al-Kazzaz al-nihawandi. Dia aadalah seorang putera pedagang barang pecah belah dan keponakan Surri al-Saqti serta teman akrab dari Haris al-Muhasibi. Dia meninggal di Baghdad pada tahun 297/910 M. dia termasuk tukoh sufi yang luar biasa, yang teguh dalam menjalankan syari`at agama, sangat mendalam jiwa kesufiannya. Dia adalah seorang yang sangat faqih, sering memberi fatwa sesuia apa yang dianutnya, madzhab abu sauri: serta teman akrab imam Syafi`i.
Dikatakan bahwa para sufi pada masanya, al-junaid adalah seorang sufi yang mempunyai wawasan luas terhadap ajaran tasawuf, mampu membahas secara mendalam, khusus tentang paham tauhid dan fana`. Karena itulah dia digelari Imam Kuam Sufi (Syaikh al-Ta`ifah); sementara al-Qusayiri di dalam kitabnya al-Risaalah al-Qusyairiyyah menyebutnya Tokoh dan Imam kaum Sufi. Asal-usul al-Junaid berasal dari Nihawan. Tetapi dia lahir dan tumbuh dewasa di Irak. Tentang riwayat dan pendidikannya, al-junaid pernah berguru pada pamannya Surri al-Saqti serta pada Haris bin `Asad al-muhasibi.
Kemampuan al-Junaid untuk menyapaikan ajaran agama kepada umat diakui oleh pamannya, sekaligus gurunya, Surri al-Saqti. Hal ini terbukti pada kepercayaan gurunya dalam memberikan amanat kepadanya untuk dapat tampil dimuka umum.
b. Al-Qusyairi An-Naisabury
Dialah Imam Al-Qusyary an-Naisabury, tokoh sufi yang hidup pada abad kelima hijriah. Tepatnya pada masa pemerintahan Bani Saljuk. Nama lengkapnya adalah Abdul Karim al-Qusyairy, nasabnya Abdul Karim ibn Hawazin ibn Abdul Malik ibn Thalhah ibn Muhammad. Ia lahir di Astawa pada Bulan Rabiul Awal tahun 376 H atau 986 M.
Sedikit sekali informasi penulis dapat yang menerangkan tentang masa kecilnya. Namun yang jelas, dia lahir sebagai yatim. Bapaknya meninggal dunia saat usianya masih kecil. Sepeninggal bapaknya, tanggungjawab pendidikan diserahkan pada Abu al-Qosim al-Yamany. Ketika beranjak dewasa, Al-Qusyairy melangkahkan kaki meninggalkan tanah kelahiran menuju Naisabur, yang saat itu menjadi Ibukota Khurasan. Pada awalnya, kepergiannya ke Naisabur untuk mempelajari matematika. Hal ini dilakukan karena Al-Qusyairy merasa terpanggil menyaksikan penderitaan masyarakatnya, yang dibebani biaya pajak tinggi oleh penguasa saat itu. Dengan mempelajari matematika, ia berharap, dapat menjadi petugas penarik pajak dan meringankan kesulitan masyarakat saat itu.
c. Al-Harawi
Nama lengkapnya adalah Abu isma`il `Abdullah bin Muhammad al-Ansari. Beliau lahir tahun 396 H. di Heart, kawasan khurasan. Seperti dikatakan Louis Massignon, dia adalah seorang faqih dari madzhab hambali; dan karya-karyanya di bidang tasawuf dipandang amat bermut. Sebagai tokoh sufi pada abad kelima Hijriyah, dia mendasarkan tasawufnya di atas doktrin Ahl al-Sunnah. Bahkan ada yang memandangnya sebagai pengasas gerakan pembaharuan dalam tasawuf dan penentang para sufi yang terkenal dengan ungkapan-ungkapan yang anah, seperti al-Bustami dan al-Hallaj.
Di antara karya-karya beliau tentang tasawuf adalah Manazil al-Sa`irin ila Rabb al-`Alamin. Dalam dalam karyanya yang ringkas ini, dia menguraikan tingkatan-tingkatan rohaniyah para sufi, di mana tingakatan para sufi tersebut, menurutnya, mempunyai awal dan akhir, seperti katanya; ”kebanyakan ulama kelompok ini sependapat bahwa tingkatan akhir tidak dipaandang benar kecuali dengan benarnya tingkatan awal, seperti halnya bangunan tidak bias tegak kecuali didasarkan pada fondasi. Benarnya tingkatan awal adalah dengan menegakkannya di atas keihklasan serta keikutannya terhadap al-Sunnah”.
2. Tokoh-tokoh Ilmu Tasawuf klasik :
a. Ibn Athaillah as Sakandary
Nama lengkapnya Ahmad ibn Muhammad Ibn Athaillah as Sakandary (w. 1350M), dikenal seorang Sufi sekaligus muhadits yang menjadi faqih dalam madzhab Maliki serta tokoh ketiga dalam tarikat al Syadzili. Penguasaannya akan hadits dan fiqih membuat ajaran-ajaran tasawufnya memiliki landasan nas dan akar syariat yang kuat. Karya-karyanya amat menyentuh dan diminati semua kalangan, diantaranya Al Hikam, kitab ini ditujukan untuk meningkatkan kesadaran spiritual di kalangan murid-murid tasawuf. Kitab lainnya, Miftah Falah Wa Wishbah Al Arwah (Kunci Kemenangan dan Cahaya Spiritual), isinya mengenai dzikir, Kitab al Tanwir Fi Ishqat al Tadhbir (Cahaya Pencerahan dan Petunjuk Diri Sendiri), yang disebut terakhir berisi tentang metode madzhab Syadzili dalam menerapkan nilai Sufi, dan ada lagi kitab tentang guru-guru pertama tarekat Syadziliyah - Kitab Lathaif Fi Manaqib Abil Abbas al Mursi wa Syaikhibi Abil Hasan.
b. Al Muhasibi
Nama lengkapnya Abu Abdullah Haris Ibn Asad (w. 857). Lahir di Basrah. Nama "Al Muhasibi" mengandung pengertian "Orang yang telah menuangkan karya mengenai kesadarannya". Pada mulanya ia tokoh muktazilah dan membela ajaran rasionalisme muktazilah. Namun belakangan dia meninggalkannya dan beralih kepada dunia sufisme dimana dia memadukan antara filsafat dan teologi. Sebagai guru Al Junaed, Al Muhasibi adalah tokoh intelektual yang merupakan moyang dari Al Syadzili. Al Muhasibi menulis sebuah karya "Ri'ayah Li Huquq Allah", sebuah karya mengenai praktek kehidupan spiritual.
c. Abdul Qadir Al Jilani
Abdul Qadir Al Jilani (1077-1166) adalah seorang Sufi yang sangat tekenal dalam agama Islam. Ia adalah pendiri tharikat Qadiriyyah, lahir di Desa Jilan, Persia, tetapi meninggal di Baghdad Irak.
Abdul Qadir mulai menggunakan dakwah Islam setelah berusia 50 tahun. Dia mendirikan sebuah tharikat dengan namanya sendiri. Syeikh Abdul Qadir disebut-sebut sebagai Quthb (poros spiritual) pada zamannya, dan bahkan disebut sebagai Ghauts Al Azham (pemberi pertolongan terbesar), sebutan tersebut tidak bisa diragukan karena janjinya untuk memperkenalkan prinsip-prinsip spiritual yang penuh kegaiban. Buku karangannya yang paling populer adalah Futuh Al Ghayb (menyingkap kegaiban).
Melalui Abdul Qadir tumbuh gerakan sufi melalui bimbingan guru tharikat (mursyid). Jadi Qadiriyah adalah tharikat yang paling pertama berdiri.
d. Al Hallaj
Nama lengkapnya Husayn Ibn Mansyur Al Hallaj (857-932), seorang Sufi Persia dilahirkan di Thus yang dituduh Musyrik oleh khalifah dan oleh para pakar Abbasiyah di Baghdad oleh karenanya dia dihukum mati.
Al Hallaj pertama kali menjadi murid Tharikat Syeikh Sahl di Al Tutsari, kemudian berganti guru pada Syeikh Al Makki, kemudian mencoba bergabung menjadi murid Al Junaed Al Baghdadi, tetapi ditolak.
Al Hallaj terkenal karena ucapan ekstasisnya "Ana Al Haqq" artinya Akulah Yang Maha Mutlak, Akulah Yang Maha Nyata,bisa juga berarti "Akulah Tuhan", mengomentari masalah ini Al Junaid menjelaskan "melalui yang Haq engkau terwujud", ungkapan tersebut mengandung makna sebagai penghapusan antara manusia dengan Tuhan. Menurut Junaid " Al Abd yahqa al Abd al Rabb Yahqa al Rabb" artinya pada ujung perjalanan "manusia tetap sebagai manusia dan Tuhan tetap menjadi Tuhan".
Pada jamannya Al Hallaj dianggap musrik, akan tetapi setelah kematiannya justru ada gerakan penghapusan bahkan Al Hallaj disebut sebagai martir atau syahid. Sampai sekarang Al Hallaj tetap menjadi teka-teki atau misteri karena masih pro dan kontra.
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Ajaran tasawuf yang benar adalah yang tidak mengabaikan akhlak terhadap sesama manusia. Jadi, bukan hanya hubungan vertikal dengan Tuhan saja yang harus di bina, namun perlu juga hubungan dengan sesama manusia (hablumminannaas) dengan akhlak yang terpuji. Dalam Islam, bahwa walaupun tujuan hidup harus diarahkan ke alam akhirat, namun setiap muslim diwajibkan untuk tidak melupakan urusan dunianya. Setiap muslim wajib kerja keras untuk menikmati rezeki Tuhan yang telah dihalalkan untuk umat-Nya, asal diperoleh melalui jalan yang halal. Yakni berlomba dengan cara yang jujur dalam kebaikan (fastabiqul khairat). Akan tetapi mengutamakan kehidupan dunia dan berpandangan materialis-sekuler sangatlah dicela dan diharamkan dalam Islam.
Tujuan tertinggi dari seorang sufi adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah atau kalau bisa menunggal dengan Allah. Untuk mencapai tujuan tersebut seorang sufi harus melalui cara tersendiri atau tingkatan-tingkatan yang dikenal dengan istilah maqâm. Di samping istilah maqâm kaum sufi juga menganal istilah ahwâl yaitu keadaan seseorang yang merupakan anugrah Allah. Kedua-duanya tidak dapat dipisahkan.
2. Saran
Semoga setelah membaca makalah ini kita bisa semakin mendekatkan diri kepada Alloh SWT, salah satunya dengan memperdalam ilmu tasawuf yang bertujuan untuk mensucikan diri. Semoga makalah ini bermanfaat, khususnya bagi kami sebagai penulis, umumnya bagi semua pembaca. Amin
Semoga setelah membaca makalah ini kita bisa semakin mendekatkan diri kepada Alloh SWT, salah satunya dengan memperdalam ilmu tasawuf yang bertujuan untuk mensucikan diri. Semoga makalah ini bermanfaat, khususnya bagi kami sebagai penulis, umumnya bagi semua pembaca. Amin
DAFTAR PUSTAKA
A.J. Arbery. Sufisme. London : George Allen & Unwin Ltd. 1963 (http://hendrakomara.wordpress.com/2011/05/08/makalah-tarekat/)
Ahmad Mansur Suryanegara,Menemukan Sejarah Rencana Pergerakan Islam di Indonesia, Penerbit Nuansa : Bandung, 2005
Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam, Jakara : Rajawali Press, 2004
Damanhuri Basyir,M.Ag, Ilmu Tasawuf, Yayasan Pena : Banda Aceh, 2005
DR. Rosihan Anwar,M.Ag, Ilmu Tasawuf, Pustaka Setia : Bandung, 2004
DR.H.Akbarizan,MA.MPd,Tasawuf Integratif Pemikiran dan Ajaran Tasawuf di Indonesia, Suska Press : Riau, 2008
Harun Nasution, Falsafah dan Mitisisme dalam Islam, Bulan Bintang : Jakarta, 1963
Jaih Mubarok, Sejarah Peradaban Islam”, Bandung : Pustaka Bani Quraisy ,1995
Mustafa Zahri, Kunci memahai Ilmu Tasawuf, Bina Ilmu : Jakarta, 1995.
Nata, Abudin, Akhlak Tasawuf, PT Rajagrafindo Persada : Jakarta, 2000
Solihin, M, Akhlak Tasawuf, Penerbit Nuansa : Bandung, 2005
Fajar Nugraha Wahyu
Artikel Terkait
Advertisements
Title : Makalah Tentang Tasawuf BAB 2
Description : BAB II PEMBAHASAN Tasawuf Fajar Nugraha Wahyu 1. Pengertian Tasawuf Dari segi bahasa tasawuf berarti sikap mental yang s...
Description : BAB II PEMBAHASAN Tasawuf Fajar Nugraha Wahyu 1. Pengertian Tasawuf Dari segi bahasa tasawuf berarti sikap mental yang s...
0 Response to "Makalah Tentang Tasawuf BAB 2"
Post a Comment