Iklan

Social Icons

Powered by Blogger.

Epilog SATU DESA SERIBU MAKNA



Advertisements



Muqadimah
Sabtu, 05/09/16 pukul 03.15 WIB di lesehan sejarah RI (sebuah warung Buku Kuno dan langka serta caffe yang menyajikan menu kopi bersejarah dan minuman khas nusantara, tepatnya terletak di depan RS. Hermina, jalan arah kampus II UIN), ketika saya baru saja finishing menulis sebagian laporan KKN FAITH yang ditugaskan dan saya menyimpannya di dalam laptop putih itu. Ada sebuah kabar tidak enak. Laptop putih itu tiba- tiba hilang “dicuri” kata teman saya.
Baru Minggu kemarin, satu Minggu sebelum peristiwa kehilangan laptop, Ulfah, mahasiswi Fakultas Dakwah dan Komunikasi (FDK), salah satu anggota dari KKN FAITH, mengirim pesan singkat “ kak soivi, tanggal 7 September laporan KKN 2016 harus dikumpulkan dan di setor ke PPM”, berangkat dari pesan singkat itu, di tengah kesibukan saya menyelesaikan amanat dari Roemah Sejarah RI mengejar deadline mulai dari merapikan katalog buku-buku sejarah, caffe dan lain sebagainya, sebab pada Minggu pertama September segera dilaksanakan liputan sejarah RI oleh DAAI TV. Tetap saja saya memprioritaskan tugas saya sebagai mahasiswa mengerjakan laporan KKN sebagaimana yang saya ceritakan tadi.
Peristiwa kehilangan laptop putih itu sangat menyita pikiran saya sampai saat ini. Bukan karena harga laptopnya tapi lebih kepada isi laptop tersebut, karena terdapat laporan KKN dan skripsi yang  sebagian  telah saya garap. Ya Allah, cobaan apalagi ini?.
Saya minta maaf terhadap PPM bila kisah saya ini mewarnai laporan KKN yang mesti saya tulis. Saya tidak bisa memastikan tulisan ini sama persis dengan laporan yang baru saja selesai kemarin. sedangkan file tersebut berada di dalam laptop putih saya yang hilang itu. Tapi mau bagaimana lagi saya harus menulis dan melaporkan kembali beberapa hal yang berkaitan dengan kesan selama KKN berlangsung (25 Juli-25 Agustus 2016).

KKN Secara Filosofis

KKN merupakan tugas mahasiswa karena itu bagian dari SKS yang harus diselesaikan. Kuliah kerja Nyata (KKN), secara filosofis adalah mengabdikan    “diri”    terhadap    masyarakat    luas    (kehidupan    di   luar


kemahasiswaan). Yang di sebut “diri mahasiswa” adalah “diri” yang memiliki nilai yang bisa diukur secara keilmuan (memiliki pengetahuan). Sedangkan “mengabdi” adalah menularkan apa yang dimiliki mahasiswa (skill, teori, dan lain sebagainya) terhadap masyarakat. Atau dalam bahasa yang sederhana adalah disiplin keilmuan (kompetensi) yang dimiliki mahasiswa harus menjadi pijakan solusif dan implikatif  terhadap kehidupan realistis masyarakat luas.( Richard Rorty :1931)
Hal itu sangat saya rasakan ketika melaksanakan KKN di Kampung Baru Asih Kelurahan Muncul, Kecamatan Setu, Tangerang Selatan. KKN 238, FAITH, F for fun, A for active, I for Innovative, T for Totality & H for Humanity. Begitulah nama kelompok KKN kita, yang di dalamnya terdapat harapan-harapan bahwa kehadiran kelompok kita akan membawa suasana nyaman dan memberi inovasi bagi warga Kampung Baru Asih.  Kelompok ini terdiri dari 11 orang, dari Fakultas dan Jurusan yang berbeda, budaya, kebiasan juga karakter yang berbeda berkumpul dalam satu kelompok, FAITH. Bapak Yoghi Citra Pratama, M.Si, sebagai Dosen Pembimbing  kami, dan anggota dari kelompok FAITH yaitu Irsyad, Aqin, Bayu, Bagis, Aini, Dwi, Ulfah, Suci, Lia, Nova, dan saya Moh. Soivi-mahasiswa Fakultas Ushuluddin Jurusan Aqidah Filsafat-yang diketuai oleh Irsyad. Berangkat dari nama kelompok ini, kita tanamkan kepercayaan bahwa satu sama lain mampu mengemban tugas dan tanggung jawab dalam melaksanaan KKN.
Ketika menemukan kata Muncul sebagai target tempat KKN, ada perasaan sedikit lega, Karena tempat ini relatif dekat. Maksud lain, saya masih bisa menyempatkan diri untuk berkunjung dan berkumpul ke  tempat para pegiat sejarah RI yang terletak di Ciputat, depan RS Hermina kampus II. Saat itu saya dihadapkan dengan 2 amanat. Pertama KKN dan kedua Sejarah RI. Selain itu, Muncul merupakan tempat yang strategis, strategis dalam artian, dekat dengan Pusat Kota, jadi akses transportasi, logistik dan segala macam tidak terlalu sulit.

Berangkat Enggan, Pulang pun Enggan

Awalnya saya merasa enggan dengan diadakannya KKN  (Kuliah Kerja Nyata) ini, karena menurut saya KKN hanya menghabiskan banyak waktu kita saja sebagai mahasiswa. Menghabiskan waktu untuk membuat proposal, menghabiskan waktu untuk rapat program kerja, menghabiskan uang tabungan untuk bayaran kuliah, belum lagi nantinya akan menghabiskan waktu untuk membuat laporan hasil KKN, dll.


Hingga akhirnya, saya sampai dititik awal kesadaran bahwa, KKN bukan hanya sekadar tahapan yang harus kita tempuh sebagai prasyarat kelulusan, melainkan inilah kuliah yang sebenarnya, kuliah yang bukan hanya sekadar tumpukan teori berbobot 3 SKS yang tiap harinya kita dapatkan di kelas, dan tentunya tak semudah presentasi di depan kelas.  Jika di kelas kita hanya menyampaikan materi kuliah dengan suara, di KKN ini, kita mempresentasikannya dengan laku. Di sini, yang memberi nilai sebenarnya adalah warga, bukan Dosen Pembimbing.
Bisa dibilang, KKN itu semacam simulasi berdurasi 1 bulan. Persiapan diri untuk bersosialisasi dengan masyarakat setelah lulus menjadi sarjana. Selama satu bulan menghabiskan waktu dengan warga, semrawung dengan warga, mulai dari anak-anak, pemuda-pemuda, sampai orangtua. Menjalin keakraban dengan mereka, hingga akhirnya, menjelang hari penutupan, ada rasa yang pernah saya rasakan ketika baru mendengar kata KKN, “enggan” enggan memulai, tapi sekarang, enggan untuk mengakhirinya. Kalau meminjam kata pepatah Jawa itu tresno kui jalaran songko kulino, mungkin  saya sudah merasakan cinta kepada warga Kampung Baru Asih  karena  telah membiasakan diri selama satu bulan hidup bersama mereka, berdialog dengan mereka. Ketika hari penutupan tiba dan hingga akhirnya kembali  ke rutinitas Ciputat serasa ada yang hilang.

30 hari pengabdian?cukup kah?

30 hari, mungkin bukan waktu yang sebentar, juga bukan waktu yang lama. Apakah cukup untuk dibilang sebagai pengabdian kita sebagai mahasiswa? Jika anda berhenti sejenak dan kemudian berfikir, mungkin kita akan menemukan jawaban yang sama. Seperti yang saya katakan di atas, bahwa satu bulan ini semacam simulasi. Dalam waktu satu bulan ini, mengabdikan diri dengan segudang program kerja. Apakah segi esensial KKN ini terdapat pada program kerja yang kita agendakan? Tentu saja tidak. Menurut saya lebih pada sejauh mana kita mampu berdialog dengan warga, sejauh mana kita mampu bersosialisasi dengan mereka, bagaimana kita memberikan sumbangsih ide, gagasan, tenaga, waktu dan lain sebagainya untuk kemajuan dan kesejahteraan warga.
Hari pertama, kita memperkenalkan diri kepada warga, tak kenal maka ta’aruf, sekalian nuwon sewu atau permisi, numpang mengabdikan diri di Kampung Baru Asih, Muncul. Hari demi hari, kita mulai mengenal satu sama  lain,   kelompok,   anak-anak,   warga  dan  pemuda-pemuda  di   sana.


Dalam kelompok yang beranggotakan 11 orang ini, kita menjadi keluarga, meski bukan keluarga sedarah, melainkan saudara seperjuangan, berdampingan dengan berbagai macam karakter. Mencoba saling memahami sifat satu sama lain.
Tiba saatnya pembagian program kerja. Saya bingung, ketika ditanya, “Bang, mau ngajar tidak?” “tidak” jawab saya tegas. “terus maunya apa, Bang?”, saat itu mata saya tertuju pada sebuah kamera, dan kebetulan hobi juga dalam hal photografi, “kalau begitu, saya pegang kamera saja.”. Akhirnya mereka menyetujuinya, dan benar, saya selalu memegang camera setiap kegiatan berlangsung. Itu kenapa, saya jarang ada dalam foto dokumentasi kegiatan. Ini jawaban buat orang yang cari-cari foto saya dalam dokumentasi kegiatan KKN FAITH ya.
Banyak sekali program belajar-mengajar, mulai dari bimbingan belajar, mengaji, dan lain-lain, akan tetapi saya lebih suka menyibukkan  diri dengan semrawung atau bersosialisasi dengan warga dan pemuda di Kampung Baru Asih, Muncul. Untuk masalah kegiatan belajar  mengajar, ada satu bidang yang sempat saya share, ya, lagi-lagi seputar photography.

Selain itu, saya juga bergabung dengan anak remaja atau pemuda masjid dalam hal persiapan pengajian rutinan, bergabung juga dengan pemuda-pemuda TPPB (Taman Pelajar Pemuda Bersatu) membuat saung untuk taman membaca, agar suasana belajar anak-anak semakin nyaman dan tidak mudah bosan. Selain itu juga mengisi diskusi.



Artikel Terkait



Advertisements


Title : Epilog SATU DESA SERIBU MAKNA
Description : Muqadimah Sabtu, 05/09/16 pukul 03.15 WIB di lesehan sejarah RI (sebuah warung Buku Kuno dan langka serta caffe yang menyajikan menu ko...

0 Response to "Epilog SATU DESA SERIBU MAKNA "

Post a Comment